Swatantara.com-Ketika menulis sudah dimulai dengan sepenuh kesadaran bahwa kita sedang menghias batu nisan sendiri, sehingga selalu berusaha menyajikan ide dan pemikiran atau gagasan yang baik untuk kemaslahatan sesama manusia, maka esensi kita sudah memulai langkah memasuki wilayah spiritual dengan cara mengingat, kebaikan itu penting dan selalu mengenang kekuasaan Tuhan lewat kematian yang bakal kita temui kapan pun kelak, maka jalan menuju terminal spiritual sudah dilakukan, hingga tahapan berikutnya bagaimana memaknai perjalan spiritual itu dalam berbagai fitur kata yang menyenangkan, menggembirakan dan mencerahkan karena bobot dari isi tulisan yang kita sajikan itu adalah yang terpilih dengan baik sehingga dapat mendorong terbukanya cakrawala berpikir yang lebih luas dan merangsang pemikiran pembaca bisa lebih bijak bersikap hingga melakukan sesuatu yang bermanfaat bagi dirinya sendiri maupun untuk orang lain.

Karena itu keyakinan para penulis bahwa kematian itu pasti, tapi karya tulis harus abadi. Sehingga saat sahabat dan kerabat merasa kangen — ketika sang penulis sudah tiada — siapapun dapat ziarah melalui karyanya yang tak pernah nati itu. Begitulah kesadaran dan pemahaman spiritual penulis yang yakin dan percaya bahwa pilihan profesi sebagai penulis adalah jalan spiritual yang abadi dan agung. Seperti nama besar sejumlah penulis pada puluhan abad silam yang masih terus kita kenang sampai hari ini, karena batu nisannya abadi tak cuma terpacak di atas pekuburan yang sepi.

Karena itu kesadaran diri adalah kunci dari pembuka pintu gerbang peradaban berbasis spiritual yang silau dan kagum dengan kemilaunya material yang mengiming-iming sebagai garansi yang sahih untuk menikmati kebahagiaan di dunia ini. Oleh karena itu, semua tuntunan agama yang baik mulai dari banyak memberi tanpa perlu mengatakannya, saling tolong menolong tanpa terlebih dahulu diminta adakah perilaku mulia yang perlu disesumbarkan. Itu sebabnya di dalam ajaran dan tuntunan Islam, jika tangan kiri memberi, akan lebih baik dan mulia kanan tangan tak perlu tahu.

Istilah dalam kearifan lokal pun — tentang andap asor — menyiratkan perlunya sikap rendah hati dan ugahari, agar kepongahan dan kesombongan tidak sampai tumbuh dan terus berkembang biak seperti virus yang mengancam kehidupan yang sehat dan normal. Seperti perilaku berbohong, akan terus beranak pinak melahirkan kebohongan berikutnya yang lebih parah dan lebih gawat untuk menjaga harmoni batin dan jiwa yang harus tenteram dan damai, setidaknya di dalam hati atau batin sendiri.

Jadi, kesadaran menulis itu sebagai ekspresi dari laku spiritual memberi kesaksian tentang realitas kehidupan agar menjadi perhatian dan kewaspadaan bagi pembaca pasti dapat disebut sebagai bagian dari ibadah. Minimal dengan sajian ide, gagasan maupun pendapat yang terbaik itu, bisakah mengurangi maraknya hoax dalam sajian media sosial berbasis internet yang semakin perkasa menguasai arus informasi, komunikasi serta publikasi agar tidak sampai semakin banyak digunakan untuk membangun rasa kebencian, antipati atau sekedar pencitraan diri yang ujungnya melakukan tipu daya atau bahkan pembodohan yang jauh dari sifat dan sikap konstruktif untuk kemaslahatan orang banyak.

Menulis akan lebih ideal dimulai sejak usia anak-anak agar dapat mengungkap cara berpikir dan cara merasakan sesuatu yang sedang atau yang pernah dia alami sebelumnya untuk dievaluasi, dan diresapi proses dari kejadiannya atau peristiwa yang dialami untuk direnungkan agar dapat diperoleh hikmah dan manfaatnya. Toh, pepatah para leluhur yang bijak sejak masa silam pernah berujar, dari malapetaka sekalipun orang yang bijak tetap akan memperoleh syafaat atau manfaatnya, minimal untuk dijadikan pelajaran dan pengalaman supaya kelak jika pun harus terjadi kembali sudah dapat diantisipasi sebelumnya.

Kesadaran menulis sebagai laku spiritual, perlu dibangun dan terus dijaga agar dapat memberikan kesaksian yang jujur dan sahih, berbagi pengalaman, atau bahkan menggugah kesadaran spiritual orang lain yang perlu dan penting untuk dibangkitkan, agar usaha untuk menjaga tatanan etika, moral dan akhlak mulia manusia — sebagai fitrah pemberian langsung dari Tuhan — bisa terjaga dan terus dipelihara, agar nilai-nilai kemanusiaan kita yang sangat mulia tidak terperosok hewan yang cuma mengandalkan hasrat dan birahinya semata. Setelah itu mati, atau menjadi korban sembelihan.

Realitas seperti ini, sedang menggelora kegandrungannya di negeri kita. Sehingga sebutan terhadap urat malu para pejabat yang korup dan khianat terhadap rakyat, seakan telah menjadi budaya atau konvensi terselubung, seperti bejadnya anggota parlemen membahas RUU untuk publik yang tidak menyertakan pendapat publik.

Begitulah dari sejumlah penulis dan jurnalis sudah cukup banyak memberikan kesaksiannya melalui rekam digital yang bisa diputar ulang. Dan itu semua — yang buruk maupun yang baik — akan menjadi catatan sejarah yang mungkin saja akan melupakan siapa penulisnya. Kendati realitasnya juga memang begitu, toh bagi sang penulisnya tidak lagi menjadi hal yang penting untuk dirinya, sebab yang utama sejak awal tulisan itu ditulis memang ingin memberikan kesaksian semata. Lebih dari itu baginya sekedar sampiran semata.

Banten, 14 Oktober 2025/Swtr.c-)

By Admin9

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *