Banggai Laut, Sulteng,Swarantara.com-
31 Juli 2025 – Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (DIKPORA) Kabupaten Banggai Laut kembali menjadi sorotan tajam, bukan karena prestasi, melainkan karena keteledoran fatal yang menjatuhkan marwah institusi. Pemutusan Surat Keputusan (SK) Honor Daerah secara sepihak terhadap Rasmin A. Timbangge, seorang tenaga administrasi yang telah mengabdi sejak 2009, menjadi bukti nyata bagaimana kebijakan DIKPORA diobok-obok oleh kepentingan lokal, khususnya keputusan ambisius Kepala Desa Tintingo, Badawin Sepole.
Kasus Rasmin A. Timbangge, tenaga administrasi di Desa Tintingo, Kecamatan Banggai Tengah, adalah ironi yang memilukan sekaligus memuakkan. Setelah lebih dari satu dekade mendedikasikan diri di lingkungan pendidikan, Rasmin tiba-tiba dihadapkan pada SK pemberhentian dari Kepala Desa Tintingo, Badawin Sepole. Lebih ironisnya, DIKPORA Kabupaten Banggai Laut bukannya melakukan verifikasi atau perlindungan, justru serta-merta tidak memperpanjang masa jabatan Rasmin sebagai tenaga honorer daerah, seolah membenarkan keputusan Kepala Desa Badawin Sepole tanpa melalui prosedur evaluasi yang semestinya.
“Saya hanya ingin kejelasan. Mengapa setelah belasan tahun mengabdi sebagai tenaga administrasi, tiba-tiba saya diberhentikan tanpa alasan yang jelas? Apakah pengabdian saya selama ini tidak dihargai?” keluh Rasmin dengan nada pilu.
Pelanggaran Sistematis dan Penistaan Marwah Birokrasi, Kebijakan sepihak ini bukan sekadar masalah administratif, melainkan indikasi kuat adanya pelanggaran hak asasi tenaga kerja dan penyalahgunaan wewenang. Bagaimana mungkin seorang tenaga honorer yang datanya sudah masuk database nasional—sebagai bagian dari upaya pendataan non-ASN oleh KemenPAN RB—bisa begitu saja diberhentikan tanpa proses yang adil dan transparan? Ini jelas-jelas bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) dan Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun 2018 tentang Manajemen Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK), yang mengamanatkan manajemen ASN yang profesional dan berkeadilan, termasuk dalam transisi penataan tenaga non-ASN.
Seorang aktivis buruh lokal menegaskan dengan geram, “Tindakan DIKPORA Banggai Laut ini adalah preseden buruk yang sangat memalukan. Mereka membiarkan Kepala Desa Badawin Sepole mengintervensi kebijakan kepegawaian daerah. Jika ini dibiarkan, jangan harap ada reformasi birokrasi! Ini sama saja menampar muka KemenPAN RB dan seluruh upaya penataan non-ASN di Indonesia.”
Mencari Keadilan Melalui Suara Media: Desakan untuk Transparansi dan Akuntabilitas Total Melihat betapa tumpulnya keadilan di jalur formal, Rasmin A. Timbangge dan para pendukungnya kini sangat berharap melalui sorotan tajam media massa, kasus ini bisa mendapatkan keadilan yang layak. Pemberitaan yang luas dan kritis diharapkan mampu menjadi tekanan kuat agar pihak-pihak terkait, khususnya DIKPORA Kabupaten Banggai Laut, bertanggung jawab penuh atas kelalaian dan ketidakprofesionalan mereka. Ini adalah seruan terakhir agar pemerintah daerah tidak lagi tutup mata terhadap praktik-praktik sewenang-wenang dan segera menunjukkan komitmennya terhadap prinsip-prinsip tata kelola pemerintahan yang baik.
Tuntutan yang disuarakan melalui platform publik ini sangat jelas dan mendesak:
- Investigasi Menyeluruh dan Tuntas: Publik menuntut klarifikasi dan investigasi mendalam terhadap kebijakan pemutusan SK Honor Daerah oleh DIKPORA Kabupaten Banggai Laut, termasuk peran dan intervensi Kepala Desa Badawin Sepole dalam kasus Rasmin A. Timbangge.
- Pembatalan Kebijakan Sepihak: DIKPORA Kabupaten Banggai Laut harus segera membatalkan kebijakan pemutusan SK tersebut dan mengembalikan status Rasmin A. Timbangge tanpa syarat.
- Sanksi Tegas bagi Pelaku Pelanggaran: Harus ada sanksi administratif dan hukum yang sangat tegas jika ditemukan pelanggaran prosedur, penyalahgunaan wewenang, atau intervensi ilegal oleh pejabat DIKPORA maupun Kepala Desa Badawin Sepole.
- Jaminan Perlindungan Hukum: Pemerintah wajib memastikan perlindungan hukum dan kepastian status bagi tenaga honorer yang telah terdaftar dalam database nasional, sesuai dengan kebijakan pemerintah pusat terkait penataan tenaga non-ASN, tanpa memandang intervensi pihak lain.
- Evaluasi Menyeluruh dan Transparan: Pemerintah daerah harus segera melakukan evaluasi menyeluruh dan transparan atas seluruh prosedur kepegawaian honorer, serta menerbitkan instruksi yang melarang keras intervensi dari pihak non-struktural dalam pengambilan kebijakan.
Kasus Rasmin A. Timbangge adalah ujian berat bagi komitmen pemerintah daerah dan pusat dalam mewujudkan birokrasi yang bersih, profesional, dan berkeadilan. Akankah suara keadilan ini didengar dan disikapi dengan tindakan nyata, ataukah nasib tenaga honorer akan terus menjadi korban kebijakan sepihak yang tak berdasar dan intervensi yang merusak tatanan? Masyarakat dan media menanti ketegasan serta tindakan nyata dari pihak berwenang.
(Redaksitim/Swtr.c-)